Mahalnya Bahan Sayuran di Hari Raya Idul fitri

URUSAN perut saat tugas pada Hari Raya membuat kami memutar otak. Bagaimana caranya agar kita lebih hemat. Uang tetap keluar, namun manfaatnya jauh lebih dibandingkan kalau kita beli masakan matang. Bayangkan saja, kalau kita makan tiga kali. Sekali makan di warung tegal 7 ribu rupiah. Kalau tiga kali makan dalam sehari, kita harus sediakan uang 21 ribu. Ternyata, apapun alasannya, masak sendiri jauh lebih murah dan jauh lebih sehat. Paling tidak, kita meyakini bahan dan cara masak kita lebih sehat. Walaupun, kita agak direpotkan untuk membersihkan peralatan masak sesudahnya. Tapi tak mengapa juga. Anggap saja, kita sedang mendalami peran menjadi penjaga gawang rumah tangga.

Kemudian kami berangkat ke pasar tradisional. Membeli bahan sayuran dan lauk yang sudah dicatat. Ternyata, bahan-bahan sayuran yang ada di daftar belanjaan harganya melambung tinggi. Tak apalah, memang itulah adanya. Satu ikat kangkung besar harganya 3 ribu rupiah. Isinya mungkin sekitar batang. Sementara satu ikat kecil harganya 5 ratus rupaih. Iseng-iseng kami coba menawar. Sang penjual keukeuh, harganya tak bisa di rubah, direvisi, diganti apalagi di tip-ex. Padahal, pada hari biasa pada saat pasokan normal, satu ikat kangkung besar seharga 1500 rupiah. Artinya terjadi kenaikan 100%! Kami pindah ke penjual tempe.Tempe setengah potong, pada hari biasa harganya 2500 rupiah, saat kami beli 5 ribu rupiah. Kami mencoba menawar lagi. Kebetulan pedagangnya orang jawa. Kami menawar dengan bahasa Jawa. Dengan harapan harga dapat direvisi. Lagi-lagi, trik kami tak membawa hasil. Penjual berdalih, barang dagangannya sudah mahal dari sononya. Mungkin maksudnya mahal dari produsen atau pemasoknya. Karena tempe ada pada daftar belanjaan dan tempe salah satu makanan favorit kami, kami beli setengah potong. Beralih pada penjual tahu. Tahu putih kecil berisi 10 buah, yang pada hari normal seharga 2 ribu dijual seharga 4 ribu. Lagi-lagi kami coba menawar, masih tak berhasil juga. Akhirnya kami beli juga.

Pindah ke penjual bahan-bahan sayuran. Kami membeli paket sayur asem satu paket. Paket ini berisi asam jawa, potongan kacang panjang, daun melinjo, buah melinjo, labu siam, potongan pepaya sayur, satu potongan jagung, potongan nangka sayur dan lainnya. Kami terkesima, saat penjual mengatakan harganya 5 ribu. Kami tertawa kecut. Masa sih, sayuran pada hari biasa seharga 1500 rupiah per-paket, saat itu dijual 5 ribu rupiah. Naik 300% lebih. Penjual sayuran ini keukeuh juga. Lima ribu tak boleh diganti menjadi 4 ribu. Lagi-lagi ini juga kami beli setelah beberapa hari tidak makan sayuran. Akhirnya, satu demi satu daftar belanjaan kami tandai. Artinya, barang sudah dibeli. Ternyata pada hari raya, hampir dapat dipastikan, semua harga sayuran melambung jauh.

Dalam perjalanan pulang dari pasar, kami tertawa cekikikan. Seolah tak percaya apa yang baru saja kami alami. Tapi, itu sungguh terjadi. Selintas dalam pikiranku. Mungkinkah petani sayuran yang bersusah payah menanam dan panen juga menikmati kenaikan harga ini? Ataukah hanya rantai perdaganganya saja yang menikmati keutungan ini. Alangkah tak adilnya, bila petani tak menikmati kenaikan harga sekalipun dalam setahun. Sudah selayaknya para petani dapat ikut mengontrol harga. Jangan petani dibodohi terus dengan alasan yang bisa dibuat-buat. Maklum, aku berasal dari keluarga petani. Jadi, sedikit banyak tahu jerih dan payahnya.

Akhirnya, kami harus segera membuat sayuran. Satu-persatu bahan sayuran kami bersihkan. Bumbu-bumbu kami persiapkan. Tak seberapa lama kemudian. Hhhhmmm, aroma sedap menyerang tempat kami memasak. Sayur asem, hhhmmm nikmat. Sambel goreng plus terasi hhhhmmm, memikat. Tempe goreng tepung uhuiiii, sebuah kombinasi tepat. Tak sabar rasanya kami harus segera menyantap. Keringat muncul dari pori-pori kulit setelah menyantap. Di antara panas dan pedas. Alhamdulillah, akhirnya kami puas. Puas telah memberikan hak pada diri kami. Diri yang sudah saatnya meminta haknya. Hak untuk segera diisi ulang.

Blog di WordPress.com.

Atas ↑